Selasa, 20 Desember 2011

Arena Dancow di Bobo Fair 2011



Masih dalam rangkaian acara piknik anakku, Syahda, bersama teman-teman TK-nya, setelah mengunjungi Masjid Perahu kami langsung menuju JCC. Hari itu adalah hari terakhir Bobo Fair 2011. Setelah menunggu antrian tiket sambil menikmati dua cup susu cokelat dingin yang diberikan cuma-cuma, Syahda masuk ke dalam arena Bobo Fair bersama teman-teman, staf guru, dan para orang tuanya tentu.


Kami langsung bergegas ke arena Dancow, karena masing-masing anak telah memegang tiket untuk semua permainan dan kegiatan di sini. Di booth menanam pohon, anak akan diajari cara menanam bibit pohon, lalu bibit itu boleh dibawa pulang. Syahda mendapat bibit pohon rambutan. Sayang, bibitnya ketinggalan di bus :). Kemudian ada permainan ular tangga. Masing-masing anak melemparkan sebuah dadu besar, lalu melangkah di kotak permainan ular tangga, sesuai jumlah mata dadu yang terlempar.


Setelah berpose naik mobil jeep lengkap dengan topi safari, Syahda juga ikut lomba menjaring ikan. Karena tak menang, jadi dia tak bisa membawa pulang ikannya deh. Tapi Syahda menang waktu berlomba mencari telur penyu di penangkaran penyu. Sayangnya, dia tetap tak bisa membawa pulang telur penyunya, soalnya bukan telur-telur penyu betulan yang dicari, cuma bola-bola pingpong kok.


Selain itu, masih ada panjat tebing versi anak-anak, nonton film di rumah pohon, main bola dan perosotan di istana balon, lompat-lompat sambil memasukkan buah-buahan ke keranjang di rumah gajah, main trampolin, dan mengukur tinggi badan di tempat konsultasi gizi.


Di setiap permainan, tiap anak mendapat stempel di lembar tiketnya. Stempel-stempel itu bisa ditukarkan di tempat penukaran stempel. Setiap sekian stempel bisa ditukar dengan beberapa jenis hadiah menarik. Karena mengikuti semua permainan dan kegiatan di arena Dancow, jadi Syahda bisa membawa pulang tas Dancow berwarna merah. Sayangnya kami tak bisa berlama-lama, karena harus ke tempat tujuan berikutnya. Sebelum keluar gedung JCC, Syahda hanya sempat main flying fox dan perosotan di booth Campina. 


Penginnya sih, tahun depan ke situ lagi. Tapi diniatin dari pagi, jadi bisa puas seharian nemenin Syahda main.

Jumat, 09 Desember 2011

Berkunjung ke Masjid Perahu

Awal bulan Juli lalu, saat menemani anakku piknik bersama teman-teman TK-nya, kami berkesempatan mengunjungi Masjid Perahu. Masjid Agung Al Munada Darussalam Baiturrahman ini terletak di Jalan Casablanca RT 03/05 No.38, Menteng Dalam, Jakarta Selatan. Bus pariwisata yang kami tumpangi parkir di tepi jalan Casablanca. Saat itu hari Minggu, jadi lalu lintas di jalan tersebut cukup lengang.


Kami pun masuk ke sebuah gang sempit yang terletak di antara dua gedung apartemen. Gang selebar sekitar satu meter dengan plang nama masjid dan dihiasi bentuk kubah masjid kecil ini diawali dengan undakan menurun, sehingga tak bisa dilalui kendaraan. Setelah berjalan sekitar lima belas meter, kami pun masuk ke halaman masjid.


Masjid ini tak begitu besar, namun unik karena di samping masjid terdapat bangunan berbentuk perahu. Perahu ini melambangkan perahu Nabi Nuh, dan difungsikan sebagai tempat berwudu. Saat kami tiba hari masih terbilang pagi. Karena baru saja melakukan perjalanan malam, maka kami pun segera menyerbu kamar-kamar mandi yang terletak di lantai bawah bangunan perahu. Segera kusiram badanku dengan air yang terasa dingin dan segar, lalu berganti baju. Sementara urusan memandikan anakku, jadi tugas suamiku :). Selesai mandi kami menikmati teh hangat dan beberapa makanan kecil yang telah disediakan. Wah, terima kasih banyak ibu kepala sekolah dan keluarga, yang sudah mau direpotin. 


Setelah perut hangat, aku bergabung dengan yang lain masuk ke dalam masjid. Di sebuah ruangan yang terletak di depan tempat shalat, terdapat sebuah Al Quran besar. Di sekelilingnya terdapat batu-batu besar berwarna-warni, koleksi dari pendiri masjid. Konon, jika kita bisa mengangkat salah satu batu itu, maka jalan hidup kita selanjutnya akan lebih mudah. Waduh, melihat ukurannya saja sudah ngeri membayangkannya. Apa nggak turun berok yang mengangkatnya nanti?


Setelah jepret sana jepret sini, kami pun tak berlama-lama lagi segera beranjak dari masjid ini, ke tujuan wisata berikutnya. Sayangnya aku tak punya foto yang memperlihatkan masjid dan bangunan perahunya secara jelas. Jadi ya, aku pajang saja seadanya foto-foto yang ada.

Rabu, 22 Juni 2011

Buku Kumpulan Dongeng Binatang 1


Dari beberapa buku yang pernah kupunya waktu ku kecil, salah satu yang paling berkesan adalah buku Kumpulan Dongeng Binatang 1. Buku aslinya berjudul 101 Histoires d'Animaux karangan Anne-Marie Dalmais, dengan ilustrator Benvenuti. Hanya saja, di terjemahan bahasa Indonesianya hanya memuat 91 judul cerita pendek dan puisi.


Seperti lazimnya sebuah buku cerita, yang paling menarik bagi anak-anak tentu ilustrasinya. Benvenuti berhasil membuatku terhanyut dalam dongeng-dongeng Anne-Marie Dalmais, hingga terbawa mimpi. Tentunya peran penerjemah, Listiana alm., juga sangat penting. Penerjemah hebat ini memang ahli menerjemahkan puisi-puisi tentang binatang hingga memiliki rima yang indah. Kalimat-kalimat dalam cerita pendeknya pun sangat luwes, menciptakan cerita-cerita menarik dan menghanyutkan..


Cerita favoritku adalah Pelukis dan Bona Tak Suka Matematika. Pelukis bercerita tentang Bu Kambing yang tinggal di sebuah rumah sempit dan menyebabkan banyak kekacauan karena hobby melukisnya. Setelah membacanya, aku membayangkan memiliki sebuah studio lukis mungil di tengah-tengah kebun yang indah dengan jendela yang lebar. Asyiknya...


Bona Tak Suka Matematika bercerita tentang seekor gajah kecil yang suka mengunjungi neneknya. Neneknya mempunyai sebuah lemari besar berwarna hijau yang istimewa, karena di dalamnya tersimpan benda-benda yang menarik, yang suka diberikan kepada Bona sebagai hadiah sebelum pulang. Aku pun terinspirasi, mengosongkan satu ruang di dalam lemari bajuku, lantas mengisinya dengan barang-barang istimewa milikku. Seru.


Bukan berarti cerita lainnya tak menarik. Apalagi jika ilustrasinya berupa kue-kue yang terlihat menggiurkan, seperti pada cerita Toko Kue Jumbo dan Gurita. Aku yang waktu itu masih kelas 2 SD, sampai hampir menitikkan air liur saat berlama-lama memandanginya.


Buku itu sekarang sudah rusak dan hilang entah ke mana. Makanya, saat tahun 2006 yang lalu aku ke Gramedia Bandung lalu menemukan buku yang sama, langsung saja kubeli. Saat itu anakku belum lahir. Jadi kubacakan saja cerita-cerita di dalamnya sejak ia masih dalam kandungan.


Sekarang anakku hampir lima tahun, dan buku itu sudah lepas sampulnya. Beberapa lembar halamannya pun sudah lepas karena bolak-balik dibaca, terutama sebelum tidur. Anehnya, cerita berjudul Pelukis yang paling sering ia minta aku ceritakan. Kalimat favoritnya adalah komentar Cempe, anak Bu Kambing, saat melihat buncis berwarna biru tersaji di meja makan. Hari itu Bu Kambing memang banyak melukis dengan cat biru! "Buncis biru kelihatan lebih menarik daripada buncis hijau. Apakah perutku nanti akan menjadi biru juga, kalau aku makan buncis biru itu?" begitu komentarnya. Kok bisa ya...

Sabtu, 04 Juni 2011

Kebun Binatang Gembira Loka Yogyakarta

Tahun 2008 yang lalu, saat menghadiri acara wisuda adikku di UGM, aku berkesempatan mengunjungi kebun binatang Gembira Loka di Yogyakarta. Dengan menggunakan taxi, aku, suami, dan anakku meluncur dari hotel tempat kami menginap di Jalan Kaliurang ke tempat tujuan. Waktu itu hari Kamis jam delapan pagi. Tapi lalu lintas tak begitu padat. Tak memakan waktu lama, kami telah sampai. Setelah membayar tiket masuk seharga sepuluh ribu rupiah per orang (anakku baru dua tahun, jadi tak perlu membayar tiket), kami pun melewati pintu masuk kebun binatang.


Setelah melewati taman bermain anak, menuruni puluhan anak-anak tangga, menyeberang jembatan, dan menyusuri tepian kolam buatan, barulah kami sampai di kandang-kandang para binatang. Yang pertama kami jumpai adalah beberapa jenis primata, kemudian aneka jenis ikan yang ditempatkan di sebuah bangunan dengan penerangan redup. Binatang-binatang lain yang kami temui berikutnya adalah aneka jenis burung, buaya, kuda nil, harimau, ular, kanguru, unta, rusa, landak, beruang hitam, gajah, zebra, tapir, dan beberapa jenis lainnya yang tak sempat kufoto, jadi tak kuingat lagi.




Saat menuju pintu keluar, kami kembali melewati kolam buatan yang dilengkapi sepeda air/perahu kayuh, lalu mendaki tangga-tangga yang curam menuju taman dengan aneka permainan anak-anak. Beberapa patung mulut binatang menjadi lorong-lorong yang mengasyikkan bagi anakku. Sayangnya, kok banyak yang tak terawat ya... Waktu itu tak ada petugas satu pun di semua arena permainan. Lagipula, area kebun binatang juga kelihatan sepi pengunjung. Mungkin karena hari itu bukan hari Minggu, dan masih bisa dibilang pagi?


Kios-kios pedagang cindera mata berderet sepanjang jalan keluar menuju jalan raya. Kembali ke hotel, kami mencoba bis Trans Jogja karena salah satu haltenya tak jauh dari pintu keluar kebun binatang. Bisnya ber-AC, tapi tak punya jalur khusus seperti busway di Jakarta. Jadi, kalau lalu lintas lagi macet ya... ikutan macet deh. Karena rute bis tak melewati Jalan Kaliurang, maka kami sambung dengan taxi. Sebelum tengah hari, kami sudah sampai kembali ke hotel.

Selasa, 24 Mei 2011

Pasar Kaget Gasibu Bandung

Tulisan ini mengingatkanku pada masa-masa kuliah dulu. Tinggal di Haur Mekar, Bandung (kelurahan Sadangserang), membuatku sering melewatkan Minggu pagi di lapangan Gasibu dan sekitarnya.

Awalnya sih, karena kebetulan semester pertama mata kuliah Olah Raga mewajibkanku untuk 'bisa' berlari sepanjang kurang lebih enam keliling lapangan bola. Sungguh, mata kuliah ini begitu berat bagiku, mengingat sejak kecil aku hampir tak pernah berolah raga kecuali saat pelajaran Olah Raga. Tak heran jika sejak SD hingga SMU, nilai Olah Ragaku selalu kurang. Nah, demi mendapat nilai bagus, aku pun berlatih hampir setiap hari Minggu pagi untuk membiasakan fisikku dengan jogging mengitari lapangan Gasibu.

Kebetulan teman-teman kos yang tinggal serumah denganku kuliah di kampus lain, di mana tak ada mata kuliah Olah Raga. Jadi, biasanya kalau mereka ikut ke Gasibu, paling hanya duduk-duduk di pinggir melihat pejogging lain sambil menyantap sarapan yang mereka beli di sekitar lapangan. Setelah selesai jogging, aku pun bergabung dengan mereka, istirahat sebentar, lalu pulangnya membeli sarapan untuk kumakan di tempat kos.

Setelah semester pertama berakhir, aku jadi ketagihan lari keliling lapangan Gasibu! Rasanya kalau aku melewatkan satu hari Minggu tanpa lari, badanku jadi tak sebugar biasanya. Jadi ya, aku tetap melewatkan Minggu pagi di Gasibu. Tapi semakin lama, pedagang di seputar lapangan Gasibu semakin bertambah. Karena lari pagi mengelilingi lapangan Gasibu semakin tak nyaman, aku pun pindah ke taman di depan gedung telkom, di seberang Gasibu. Kebetulan tamannya dibatas pagar tinggi, jadi area taman tak terganggu pedagang.


Setelah lulus kuliah, aku bekerja dan tinggal di Jakarta. Saat week end, aku masih sering main ke Bandung, meski tak tiap minggu. Acara jogging kadang-kadang masih kulakukan, meski semakin lama semakin jarang. Hari-hari kerja di Jakarta sepertinya menguras tenagaku, hingga rasa malas menghinggapiku di akhir minggu. Jadinya ya, biasanya aku langsung menuju tempat sarapan, lalu menikmati sarapan sambil melihat keramaian di sekitarku.


Untuk urusan sarapan, hampir semuanya ada di sini. Dari bubur ayam, lontong sayur, kupat tahu, nasi uduk, nasi kuning, nasi goreng, nasi padang, dan beragam lauk bisa dipilih. Jajanannya pun tak kalah banyak, dari awug, lupis, bandros, lumpia basah, putu, serabi, 'dorayaki', cilok, beragam es, hingga kue-kue kering. Pokoknya sampai bingung milihnya.


Selesai menyantap sarapan, kadang-kadang aku berburu barang-barang murah meriah. Sepertinya, pedagang yang mengitari lapangan Gasibu hingga tumpah ke jalan-jalan di sekitarnya, sampai menyeberang ke depan gedung telkom, telah menyediakan hampir semua kebutuhan hidup kita. Dari peralatan rumah tangga, perlengkapan mandi, baju, berbagai aksesoris, parfum racikan sendiri, buku, perlengkapan sekolah, barang elektronik, hingga motor tanpa DP.

Harganya pun benar-benar diobral. Dari shampoo bermerk yang dijual di bawah setengah harga toko, hingga parfum bermerk yang dijual hanya sepuluh ribu rupiah. Tentunya masalah kualitas bukan jaminan di sini. Barang-barang bermerk aspal sudah umum ditemukan. Aku sendiri pernah membeli tiga pasang kaos kaki seharga lima ribu rupiah. Setelah dicoba di rumah, yah.. semuanya barang reject dan tak pantas dipakai keluar rumah. Dengan harga segitu, kita memang tak lagi memikirkan kualitas, makanya tak ada kata kecewa. Lumayanan sajalah...


Belakangan, marak diberitakan para pedagang akan direlokasikan di tempat lain, atau minimal area jualan dipagar, agar pedagang tak tumpah ke jalan. Karena aku belum sempat ke Bandung lagi, jadi ya tak tahu deh bagaimana keadaannya sekarang. Tapi sebenarnya, kangen juga sih sarapan di pasar kaget Gasibu lagi...

Selasa, 10 Mei 2011

Melahirkan di Rumah Sakit Hermina Pasteur Bandung

Tahun 2006 yang lalu, aku melahirkan anak pertamaku di rumah sakit Hermina Pasteur, Bandung. Waktu itu aku dan suamiku memutuskan untuk memilih kamar kelas III dengan pertimbangan:
1. kamar dilengkapi AC
2. disediakan kamar mandi di dalam kamar dengan fasilitas air panas
3. meskipun 1 kamar diisi 6 buah tempat tidur, tetapi masing-masing tempat tidur disekat gorden tebal, sehingga tiap pasien tetap memiliki privasi
4. tidak disediakan TV, yang menurut kami malah menguntungkan, karena berarti saya bisa benar-benar beristirahat setelah melahirkan, tanpa terganggu acara TV
5. harganya sudah pasti paling murah dibandingkan kelas-kelas di atasnya


Waktu itu bangunannyamasih cukup baru, karena masih berumur 2 tahun. Jadi, penampilannya pun masih menyenangkan. Pelayanannya cukup bagus, dan perawatnya cukup ramah. Jam besuk diberlakukan cukup ketat, meskipun terhadap keluarga pasien sendiri. Tujuannya ya, agar ibu yang habis melahirkan bisa beristirahat dengan baik.

Begitu anakku lahir, suamiku langsung mengurus akte kelahiran. Jadi, kami sudah mengantongi akte kelahiran anak kami selagi aku masih dalam masa perawatan.


Sayangnya, waktu itu rumah sakit Hermina Pasteur belum menerapkan IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Jadi, anakku sempat dikasih susu formula dari pihak rumah sakit. Untungnya, dokter kandungan dan dokter anak sangat mendukung pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. Bahkan perawatnya mengajariku cara massage payudara agar ASI-ku cepat lancar dan memberi semangat agar aku tak mudah putus asa. Jadi, meskipun sempat stress karena awalnya ASI-ku cuma keluar sedikit, akhirnya aku berhasil juga, tak langsung menyerah pada susu formula.

Sebelum pulang, para ibu diberi training singkat mengenai cara menangani bayi dengan baik, meliputi cara memandikan, berjemur di bawah sinar matahari pagi, merawat tali pusar yang belum puput, menangani pakaian bayi, menghadapi bayi yang demam, dan sebagainya. Training ini sangat berguna buatku yang memang ingin mengurus anakku sendiri.


Sebagai suvenir, para ibu mendapat sebuah travel bag kecil, dompet peralatan mandi, gelas kumur plastik, dan termometer. Kami juga dipersilakan mengisi angket seputar pelayanan rumah sakit.

Insya Allah, beberapa bulan lagi aku melahirkan anak keduaku. Hm... enaknya melahirkan di mana ya?

Senin, 25 April 2011

Buku Seri Lift-The-Flaps with 60 Flaps (Buku dengan 60 Jendela)



Yang dimaksud dengan flaps di sini adalah kotak gambar yang dibuat menyerupai tingkap atau jendela, dan kalau dibuka terlihat gambar lain beserta penjelasannya. Misalnya, ada kotak bergambar beehive (saang lebah), saat dibuka terlihat gambar seekor lebah dan sebotol madu, dengan keterangan: Kita mengambil madu dari sarang lebah. Jadi, buku ini lumayan kaya pengetahuan.


Bukunya ‘besar’ dan ‘tebal’. Ilustrasinya full color dan sangat menarik, dikerjakan oleh ilustrator senior Tony Wolf. Jangankan anak-anak. Aku sendiri suka berlama-lama menikmati gambar-gambar di buku-buku itu. Anakku sampai suka bergumam, "Bunda, aku pengen masuk ke buku ini... Pengen masuk rumah ini nih... Pengen main-main di sini nih... Pengen naik kapal laut ini nih..." sambil menunjuk gambar-gambarnya.



Menurutku, cakupan edisi dwibahasa Inggris Indonesia ini adalah dari balita yang baru bisa baca sampai anak-anak yang udah gede dan masih belajar bahasa Inggris. Soalnya, buku ini kayak kamus bergambar. Kosa katanya lumayan mendetail. Misalnya, di sebuah halaman yang gambarnya kapal laut, tertulis nama-nama bagian kapal yang ditunjuk. Dari prow (haluan), bridge (anjungan), hingga poop deck (buritan). Aku sendiri masih suka ngintip buku-buku ini kalau lagi butuh kosa kata bahasa Inggris, hehehe…


Aku mulai mengenalkan buku ini pada anakku ketika ia berumur sebelas bulan, saat dia belum bisa membaca. Alhasil, beberapa 'jendela' dengan sukses sudah berhasil dirobeknya. Sayang. Saranku sih buku ini diberikan saat anak kita sudah mulai bisa mengeja. Saat itu biasanya ia sudah terampil membolak-balik halaman buku, sehingga tidak sampai merobeknya.

Judul-judul lengkap seri ini: The Farm (Tanah Pertanian), The City (Kota), The Woodland (Hutan), dan The Sea (Laut), diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka.